Page 9 - InsideTax Edisi 14th (Menggali Ke(tidak)patuhan Pajak)
P. 9
insideheadline
langsung seperti reward dan melayani (service to customer) dimana penyaluran barang publik
punishment. Pertukaran fiskal berarti yang harus diaplikasikan. Hal akan lebih terasa manfaatnya oleh
terdapat pertukaran kepatuhan ini diperkuat dengan penelitian Wajib Pajak jika disalurkan secara
Wajib Pajak dengan penyediaan empiris yang dilakukan di Swiss, lokal/regional. Pandangan ini
barang publik (bonum commune) yang menunjukkan bahwa tingkat sesuai dengan apa yang diajukan
yang optimal oleh negara. Semakin kepatuhan pajak ternyata lebih tinggi oleh Tiebout (1956), bahwa dalam
besar perbedaan antara ketersediaan ketika otoritas pajak menerapkan skala administrasi yang lebih kecil,
barang publik yang diinginkan Wajib transparansi dalam administrasinya jenis, kuantitas dan kualitas barang
Pajak dengan barang publik yang serta memperlakukan Wajib Pajak publik akan lebih tepat guna, karena
benar-benar disediakan negara, dengan lebih bersahabat. 24 mengikuti preferensi masyarakat
ecara singkat dapat disimpulkan bahwa perspektif economics
of crime hanya terfokus kepada kepatuhan secara paksaan
(enforced compliance) dan mengabaikan aspek kepatuhan
S pajak secara sukarela (voluntary compliance).
maka semakin besar pula dorongan 2.2.3. Aspek Demokrasi yang ada di suatu daerah. 28
Wajib Pajak untuk tidak patuh. 21 Dalam Kepatuhan
Pajak 2.2.4. Kepatuhan Pajak
2.2.2. Perlakuan Terhadap Sebagai Norma Sosial
Wajib Pajak Persyaratan konstitusional yang
mendasari proses politik-ekonomi John Cullis, Philip Jones, dan
Keinginan Wajib Pajak untuk juga diduga mempengaruhi tax Alan Lewis memperkenalkan aspek
patuh juga dipengaruhi oleh morale. Kunci dari proses tersebut norma sosial (social norm) untuk
25
perlakuan ataupun pelayanan yang adalah demokrasi dan desentralisasi menjelaskan kepatuhan pajak.
29
diberikan oleh otoritas pajak. fiskal. Kedua hal tersebut terbukti Menurut mereka, norma seseorang
22
Semakin baik negara (atau dalam memberikan pengaruh positif yang dapat dipengaruhi oleh norma orang
hal ini diwakilkan oleh otoritas signifikan terhadap kepatuhan lain di sekitarnya ataupun norma
pajak) memperlakukan Wajib Pajak, pajak. yang dianut secara kelompok.
26
maka semakin tinggi pula dorongan Jika dibandingkan dengan sistem Dalam konteks kepatuhan pajak,
Wajib Pajak untuk patuh. Lalu, politik lainnya, demokrasi merupakan norma seorang Wajib Pajak dapat
perlakuan seperti apakah yang sistem yang lebih kompatibel dengan mempengaruhi norma Wajib Pajak
baik bagi Wajib Pajak? Analisis keterwakilan publik. Partisipasi lainnya. Seorang Wajib Pajak yang
empiris memperlihatkan dua aspek Wajib Pajak dalam pengambilan sebelumnya patuh, jika berada
yang penting, yaitu transparansi keputusan membuat keputusan yang di dalam lingkungan yang tidak
dan kesetaraan derajat. Jika diambil akan lebih diterima Wajib patuh, maka ia akan cenderung ikut
23
prosedur dalam administrasi Pajak, sehingga Wajib Pajak memiliki tidak patuh karena menyesuaikan
perpajakan dikomunikasikan dengan kecenderungan untuk berkontribusi perilakunya dengan lingkungan
baik kepada Wajib Pajak, motivasi dengan sukarela lewat pajak yang tempat ia berada. Mengapa? Hal
untuk mematuhi pajak akan lebih dipungut oleh negara. 27 ini tidak dapat dilepaskan dari
tinggi. Selain itu, apabila otoritas Lebih lanjut lagi, adanya bagaimana mekanisme norma
memperlakukan Wajib Pajak dengan desentralisasi fiskal dan sifat sosial bekerja, yang mana terdapat
posisi yang lebih inferior, atau otonomi daerah akan menjamin kecenderungan diterimanya
misalkan memperlakukan Wajib proses pengambilan keputusan yang seseorang yang memiliki norma
Pajak dengan perspektif polisi dan demokratis lebih mudah diterapkan yang sama dengan norma suatu
perampok (cops and robbers), maka di skala pemerintahan yang lebih kelompok dan ditolaknya seseorang
Wajib Pajak akan cenderung tidak kecil. Desentralisasi juga terkait yang memiliki norma sosial yang
patuh. dengan proses fiscal exchange berbeda. Dengan demikian, apa
Dengan demikian, justru orientasi yang dapat dianggap suatu hal
yang etis bukanlah suatu hal yang
24 Lars P. Feld dan Bruno S. Frey, Op.Cit.
21 Pommerehne, Werner W., Albert Hart, dan Bruno S. Frey 25 Benno Torgler dan Christoph A. Schaltegger, Op.Cit., 24. final dan dapat saja berbeda antar
“Tax Morale, Tax Evasion and the Choice of Policy Instruments 26 Benno Torgler, “Tax Morale and Direct Democracy,” European
in Different Political Systems,” Public Finance 49 (Supplement: Journal of Political Economy 21, (2005), 525-531.
Public Finance and Irregular Activities), (1994), 52 – 69. 28 Charles M. Tiebout, “A Pure Theory of Local Expenditures,”
27 Di Swiss, kanton-kanton (wilayah negara bagian) yang lebih
22 Benno Torgler dan Christoph A. Schaltegger, Op.Cit., 20. demokratis dalam pengambilan keputusan publik memiliki Journal of Political Economy Vol. 64 No. 5, (Oktober, 1956), 416
23 Bruno S. Frey, “The Role of Deterrence and Tax Morale tingkat kepatuhan pajak yang lebih tinggi. Lihat Pommerehne, – 424.
in Taxation in the European Union,” Jelle Zijlstra Lecture, Werner W., dan Weck-Hannemann, H., “Taxes Rates, Tax 29 John Cullis, Philip Jones, dan Alan Lewis, “Tax Compliance:
Netherlands Institute for Advanced Study in the Humanities and Administration and Income Tax Evasion in Swizterland,” Public Social Norms, Culture and Endogeneity,” International Studies
Social Sciences (NIAS), (2003). Choice 88, (1996), 161-170. Program Working Paper 07-22, (December 2007).
Inside Tax | Edisi 14 | Maret 2013 9