Page 56 - Working Paper (Sistem Pemajakan: Dari Worldwide ke Territorial Bagaimana dengan Indonesia?)
P. 56
Terkait dengan sistem worldwide yang saat ini diimplementasikan oleh Indonesia tentu
membutuhkan informasi atas harta, penghasilan, maupun kegiatan ekonomi dari wajib
pajak yang dilakukan di luar negeri. Sayangnya, akses atas informasi dari luar negeri
tersebut umumnya terbatas karena otoritas pajak suatu negara umumnya hanya dapat
melaksanakan kewenangannya dalam yurisdiksi Indonesia. 154 Artinya, tanpa adanya
kerjasama dengan otoritas pajak negara lain, pengenaan pajak berdasarkan worldwide
income tidak dapat diuji secara efektif.
Bahkan, dapat disebutkan bahwa persoalan kedaulatan negara yang menyebabkan
kewenangan otoritas menjadi terbatas pada teritori tertentu saja, merupakan loophole
yang memungkinkan terjadinya pengelakan pajak (tax evasion). 155 Terkait hal ini,
pertukaran informasi antar negara hadir sebagai solusi untuk mengatasi rintangan
hukum internasional tersebut yang apabila dibiarkan akan menghalangi otoritas pajak
dalam mendapatkan informasi dari luar negeri. 156 Dengan demikian, suatu kerangka
kerjasama multilateral dalam rangka pertukaran informasi untuk kepentingan
perpajakan menjadi kunci untuk mencegah terjadinya penggelapan pajak. Tanpa adanya
kerjasama berdasarkan perjanjian multilateral, loophole untuk melakukan penggelapan
pajak akan tetap ada. 157
Khusus bagi Indonesia, data deklarasi luar negeri dan repatriasi bisa dijadikan suatu
indikator persoalan ini. Dengan dana deklarasi luar negeri sebesar Rp1.032 triliun dan
jumlah repatriasi sebesar Rp147 triliun, agaknya praktik offshore tax evasion merupakan
suatu hal yang serius. Menariknya, sumber negara dengan repatriasi dan deklarasi luar
negeri tertinggi berasal dari negara-negara yang selama ini dianggap sebagai tax haven
seperti: Singapura, Cayman Islands, Hong Kong, serta British Virgin Island yang
jumlahnya mencapai 90% untuk deklarasi serta 85% untuk repatriasi. 158
Dewasa ini, kerjasama pertukaran informasi antarotoritas pajak telah terbentuk.
Skemanya bisa melalui pertukaran informasi berdasarkan permintaan (by request),
pertukaran informasi secara spontan (spontaneous), serta bersifat otomatis dan
resiprokal (automatic). 159 Proyek pertukaran informasi secara otomatis atas informasi
keuangan bahkan juga telah diikuti Indonesia per September 2018 ini. 160
Dalam konteks yang lebih luas, hal ini diulas oleh David S. Kerzner dan David W. Chodikoff, International
154
Tax Evasion in the Global Information Age, (Toronto: Palgrave Macmillan, 2016), 59.
155 Lauri Finer dan Antti Tokola, “The Revolution in Automatic Exchange Of Information: How Is The
Information Used and What Are The Effects?”, Bulletin for International Taxation IBFD, (December 2017):
689-690.
156 Klaus Vogel, Klaus Vogel on Double Taxation Convention, 3rd ed (London: Kluwer Law International 1997),
1403.
157 T. Anarmoulis dan L. Nethercott, “An Overview of Tax Information Exchange Agreements and Bank
Secrecy”. Bulleting for International Taxation IBFD, (December 2009): 621.
158 Tax havens sendiri diartikan sebagai yurisdiksi yang secara khusus membuat peraturan untuk
memudahkan transaksi yang dilakukan oleh non-subjek pajak dalam negeri dengan maksud untuk
menghindari pajak atau regulasi, yang mana difasilitasi dengan cara memberikan kerahasiaan guna
mengamankan pihak penerima manfaat dari transaksi tersebut. Lihat Ronen Palan, Richard Murphy, dan
Christian Chavagneux, Tax Havens: How Globalization Really Works, (New York: Cornell University Press,
2010), 45.
159 Sejarah dan perkembangan pertukaran informasi untuk kepentingan pajak di tingkat global diulas dalam
Xavier Oberson, International Exchange of Information in Tax Matters: Towards Global Transparency,
(Edward Elgar Publishing: 2015)
160 Di pertengahan tahun 2018, Indonesia memperoleh status largely compliant dari Global Forum on
Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes. Lihat
http://www.oecd.org/tax/transparency/exchange-of-information-on-request/ratings/
54