Page 56 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 56

Lantas	 bagaimanakah	 relevansi	 PPh	 final	 di	 masa	 mendatang?	 Untuk	 menjawab	 hal	 ini
                   setidaknya	terdapat	tiga	pertanyaan	kritis.	Apakah	atas	suatu	penghasilan	tertentu	memang
                   ingin	 dipajaki	 secara	 terpisah?	 Apakah	 atas	 suatu	 penghasilan	 tertentu	 memang	 perlu
                   dikenakan	pajak	yang	tidak	mencerminkan	prinsip	ability	to	pay?	Bagaimanakah	interaksi
                   kedua	hal	tersebut?

                   Tinjauan	kritis	mengenai	penerapan	PPh	final	di	Indonesia	juga	bisa	dikaitkan	dengan	enam
                   hal.	Pertama,	kaitannya	dengan	kepatuhan.	PPh	final	pada	dasarnya	merupakan	jalan	keluar
                   untuk	meningkatkan	kepatuhan	pajak.	Sayangnya,	efek	samping	dari	PPh	final	menghasilkan
                   tingginya	 biaya	 kepatuhan	 dan	 membuka	 peluang	 perencanaan	 pajak	 yang	 agresif.	 Pada
                   akhirnya,	kepatuhan	sukarela	secara	jangka	panjang	justru	sulit	tercapai.
                   Kedua,	dampaknya	terhadap	penerimaan.	Walau	memberikan	penerimaan	yang	stabil	serta
                   menjamin	kelancaran	arus	kas	pemerintah,	PPh	final	dapat	menciptakan	policy	gap.	Salah	satu
                   solusi	 mengenai	 hal	 ini	 ialah	 menerapkan	 capital	 gain	 tax.	 Ketiga,	 dampaknya	 pada
                   redistribusi.	Oleh	karena	sifatnya	yang	mencederai	keadilan	horizontal	dan	vertikal,	PPh	final
                   berpotensi	mendistorsi	progresivitas	yang	ada	dalam	sistem	PPh	suatu	negara.	PPh	final	yang
                   utamanya	dikenakan	terhadap	penghasilan	dari	modal	memberikan	risiko	ketimpangan	yang
                   lebih	buruk	di	kemudian	hari.
                   Keempat,	 konteks	 daya	 saing.	 Instrumen	 PPh	 final	 tetap	 perlu	 memperhatikan	 relevansi
                   ‘jargon’	competitiveness	terutama	atas	penghasilan	dividen	dan	modal	(keuangan).	Kelima,
                   pengujian	relevansi	PPh	final	dengan	membandingkan	perubahan	kondisi	di	masa	mendatang
                   dengan	kondisi	di	masa	lalu	(saat	UU	dibuat).	Hal	ini	mencakup	juga	pembahasan	terkait
                   pembenahan	teknologi	informasi	serta	upaya	simplifikasi.

                   Terakhir,	kaitannya	dengan	konstruksi	UU	PPh.	PPh	final	di	Indonesia	mayoritas	tidak	diatur
                   di	tingkat	UU,	tapi	justru	didelegasikan	baik	kepada	Peraturan	Pemerintah	maupun	Peraturan
                   Menteri	Keuangan.	Hal	ini	jelas	bertentangan	dengan	prinsip	membatasi	kekuasaan	dalam
                   mengenakan	 pajak.	 Selain	 itu,	 pengaturan	 PPh	 final	 di	 UU	 mendatang	 harus	 memberikan
                   penegasan	dan	filosofi	yang	kuat	dan	mendasar.







































                   	                                                                                51
   51   52   53   54   55   56   57   58