Page 51 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 51
serta terbatas pada jenis penghasilan tertentu yang bersifat pasif (passive income), seperi
bunga, royalti, sewa. Hal ini sebagaimana yang diterapkan di Singapura dan Malaysia. 157
Lantas, bagaimanakah relevansi perluasan PPh final terhadap lanskap pajak Indonesia?
Pertama, sebagai salah satu bentuk dari mekanisme withholding tax, perluasan PPh final
menyebabkan pengertian self-assessment menjadi kabur. 158 Padahal, dari penjelasan
mengenai pokok-pokok perubahan dari UU No. 10/ 1994, dijelaskan bahwa pemberlakuan
mekanisme withholding dilandasi oleh tujuan berikut:
“12. Perluasan dalam sistem pemotongan dan pemungutan pajak untuk
meningkatkan kepatuhan WP, …dan menunjang sistem “self assessment” melalui
pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien.”
(dengan penambahan penekanan)
Dari pernyataan di atas, adanya mekanisme withholding tax merupakan suatu terobosan
administrasi yang bertujuan untuk dua hal, yaitu kepatuhan pajak dan menunjang sistem self-
assessment melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien. Menariknya, mekanisme
withholding tax yang seharusnya menjadi penunjang dari sistem self-asessment, justru
memiliki peran yang lebih besar daripada sistem self-assessment itu sendiri. Hal tersebut
ditunjukkan dari data statistik penerimaan pajak Indonesia selama periode 2014-2019. Pada
periode yang sama, kontribusi PPh final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 26) di Indonesia
berada di kisaran 12% hingga 15% atau kurang lebih sama dengan kontribusi PPh Badan dan
PPh karyawan. 159
Kedua, rezim PPh final yang diterapkan secara luas justru bertentangan dengan semangat
reformasi pajak dan sistem pajak yang modern. Pada dasarnya, mekanisme pemungutan PPh
dapat dimaklumi dalam konteks lanskap pajak di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Partisipasi wajib pajak yang rendah, ketersediaan informasi atas profil wajib pajak yang
terbatas, hingga tidak dimilikinya basis data dan teknologi informasi yang baik, mendorong
adanya justifikasi perluasan rezim PPh final.
Namun demikian, dengan perkembangan teknologi informasi serta adanya jaringan
kerjasama akses informasi dari pihak ketiga yang semakin meningkat, justifikasi perluasan
PPh final semakin menipis. Perkembangan teknologi administrasi pajak yang semakin canggih
di Indonesia seharusnya mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang selama ini ditemui di
lapangan. Sebagai contoh, adanya pelaporan SPT dengan sistem pre-populated tax return.
Menurut OECD (2006), program pre-populated tax return merupakan sistem pelaporan pajak
di mana otoritas pajak berperan sebagai pihak yang memasukkan informasi relevan mengenai
wajib pajak dengan menggunakan sumber data dari pihak ketiga serta sumber informasi yang
157 Lihat Suet Yen Lo, “Singapore: Corporate Taxation & Individual Taxation,” IBFD Tax Research Platform
(2019); dan Janice Loke, “Malaysia: Corporate Taxation & Individual Taxation,” IBFD Tax Research
Platform (2019).
158 Darussalam, “Kembali ke Filosofi Pajak,” Inside Tax Edisi 18 (November-Desember 2013): 10.
159 Lihat Laporan Kinerja DJP yang dirilis setiap tahun. Dapat diakses pada:
https://www.pajak.go.id/id/kinerja-page.
46