Page 50 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 50
ASEAN sehingga kegiatan pendanaan melalui pinjaman oleh investor luar negeri cenderung
memiliki cost of capital yang lebih tinggi. 151
Lebih lanjut, salah satu isu penting dalam hal pemajakan atas modal ialah pengenaan pajak
dividen yang dikenakan terhadap wajib pajak dalam negeri orang pribadi dengan tarif 10%
yang bersifat final. Sebagai informasi, negara-negara yang mengadopsi dual income tax juga
telah lama menghadapi dilema mengenai pengaturan atas hal ini. 152 Dual income tax pada
dasarnya tidak hanya berkaitan dengan pemisahan perlakuan pajak antara penghasilan dari
modal dan pekerjaan. Namun, juga bagaimana hal tersebut akan berkaitan kepada hubungan
pemajakan orang pribadi dan pemajakan badan.
Upaya mengadopsi pure dual income tax akan berakibat bagi pemajakan berganda yakni di
tingkat perusahaan serta pada saat dividen tersebut didistribusikan. Oleh karena itu, jalan
tengah yang dipilih utamanya di negara-negara Skandinavia ialah dengan mengadopsi
imputation system. 153 Sistem imputasi dapat dilakukan dengan cara sepenuhnya (full
imputation) atau dengan cara sebagian (partial imputation). Dengan sistem ini, seluruh atau
sebagian pajak korporasi ditambahkan sebagai penghasilan dividen bruto bagi pemegang
saham. Selanjutnya, atas pajak korporasi tersebut diperlakukan sebagai kredit pajak terhadap
pajak yang terutang dari pemegang saham tersebut. 154
Sejak rezim UU No. 36/2008, Indonesia secara resmi mengadopsi sistem klasikal yang
menciptakan pemajakan berganda bagi investor dalam negeri (pemegang saham mayoritas).
Hal ini telah menyebabkan tingginya tarif pajak efektif dan mengurangi minat investor dalam
negeri untuk berinvestasi. Dalam rangka tetap mempertahankan dual income tax tanpa
mendistorsi daya saing, Indonesia dapat saja memilih sistem imputasi maupun konsisten
dengan apa yang menjadi usulan dalam omnibus law perpajakan yaitu sistem pembebasan
(full integration). 155
E.5 PPh Final dan Perubahan Lanskap Pajak
Dari bagian sebelumnya kita melihat adanya fenomena perluasan PPh final di Indonesia.
Penerapan PPh final yang relatif lebih mudah dan dapat menjamin penerimaan telah
menyebabkan adanya insentif bagi suatu pemerintah untuk terus mempertahankan dan
bahkan memperluas objek. 156 Padahal, apabila dibandingkan dengan praktik di negara lain,
pengenaan PPh final bukanlah opsi utama pengenaan pajak. Sebagian besar negara, terutama
negara maju, pengenaan PPh final lebih ditujukan kepada SPLN dibandingkan dengan SPDN,
151 Walau demikian, aspek yang perlu dicermati adalah bagaimana efektivitas penurunan tarif tersebut
terutama dalam hal investor tersebut berkedudukan di negara yang memiliki rezim worldwide. Lihat
Darussalam, Danny Septriadi, dan B. Bawono Kristiaji, “Omnibus Law Ketentuan & Fasilitas Perpajakan
untuk Penguatan Perekonomian: Suatu Catatan,” DDTC Policy Note (Maret, 2020).
152 Lihat Peter Birch Sorensen, “Dual Income Taxation: Why and How?” Cesifo Working Paper No. 1551
(September 2005).
153 Bernd Genser, “The Dual Income Tax: Implementation and Experience in European Countries,”
Ekonomski Pregled, Vol. 57 No 3-4 (2006): 277.
154 Sijbren Cnossen, “What Kind of Corporation Tax?” Osgoode Hall Law Journal, Vol. 52 Issue 2 (2015): 535.
155 Darussalam, “RUU Omnibus Law Perpajakan: Selamat Tinggal Pajak Berganda,” DDTC News (22 Februari,
2020). Dapat diakses pada: https://news.ddtc.co.id/selamat-tinggal-pajak-berganda-19113
156 Hal ini dibahas dalam konteks mekanisme withholding tax. Lihat Parthasarathi Shome, Pawan K.
Aggrawal, dan Kanwarjit Singh, “Tax Evasion and Tax Administration: A Focus on Tax Deduction at
Source,” dalam Luigi Bernardi, Angela Fraschini, dan Parthasarathi Shome, eds, Tax Systems and Tax
Reforms in South and East Asia (Routledge, 2007), 99-111.
45