Page 48 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 48
meminimalkan beban pajak yang ditanggung oleh kelompok miskin (berpenghasilan rendah),
(ii) mengenakan pemungutan pajak yang lebih besar seiring dengan semakin tinggi
penghasilan seseorang (vertical equity), dan (iii) mengenakan tarif yang relatif seragam bagi
wajib pajak yang memiliki kemampuan membayar pajak (ability to pay) yang sama (horizontal
equity). 140
Sebagai bentuk mekanisme pajak yang lebih menitikberatkan pada kemudahan administrasi
dan kesederhanaan, mayoritas PPh final di Indonesia mengesampingkan prinsip kemampuan
membayar pajak maupun tingkat penghasilan subjek pajak. Ini terlihat pada penggunaan
penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan pajak di seluruh pengenaan PPh final, kecuali
untuk PPh Pasal 21 atas penghasilan istri dari satu pemberi kerja yang digabungkan dengan
suami. Sebagai akibatnya, pemberlakuan PPh final menghambat terciptanya vertical maupun
horizontal equity yang pada akhirnya menimbulkan ketimpangan.
Kedua, sebagai bentuk dari schedular tax system, PPh final mendistorsi progresivitas sistem
pajak Indonesia. Dalam mengatasi ketimpangan, salah satu elemen mendasar yang
dipergunakan adalah tarif PPh yang progresif. 141 Artinya, semakin tinggi penghasilan
seseorang maka semakin tinggi pula tarif PPh yang dikenakan atas orang tersebut.
Progresivitas tarif tersebut dapat saja berhasil menjamin kesetaraan dalam sistem pajak,
selama sistem PPh yang diadopsi di suatu negara lebih dominan ke global tax system.
Indonesia sendiri memiliki tarif PPh orang pribadi yang bersifat progresif (5% - 30%). Namun,
dengan berbagai jenis penghasilan yang memiliki tarif berbeda dan tidak boleh
diperhitungkan dalam penghasilan secara total berdasarkan tarif umum, terdapat
kemungkinan progresivitas tersebut tidak berjalan dengan optimal. 142 Sebagai contoh,
penghasilan orang kaya justru rata-rata dikenakan tarif final karena berasal dari passive
income seperti halnya dividen dan deposito.
Ketiga, PPh final dapat meningkatkan ketimpangan yang diakibatkan oleh ketimpangan
kepemilikan aset atau modal. Sebagaimana kita ketahui, pada umumnya PPh final dikenakan
pada jenis penghasilan yang bersifat pasif dan berasal dari penguasaan modal. Padahal,
sebagian besar orang-orang kaya mengakumulasikan penghasilannya melalui kegiatan usaha
yang bersifat pasif, seperti dalam bentuk kepemilikan aset tidak bergerak (tanah dan
bangunan), penanaman modal yang menghasilan dividen, investasi saham dan sebagainya.
140 Nathan-MSI Group, “Effectiveness and Economic Impact of Tax Incentives in the SADC Region,” Technical
Report (2004): 1-4.
141 Jonathan Heathcote, Kjetil Storesletten, dan Giovanni L. Violante, “Optimal Tax Progressivity: An
Analytical Framework,” NBER Working Paper Series No. 19899 (2014): 1.
142 Ketimpangan pada dasarnya juga bisa tercermin dalam struktur penerimaan pajak. Lihat Francesca
Bastagli, David Coady, dan Sanjeev Gupta, “Fiscal Redistribution in Developing Countries: Overview of
Policy Issues and Options,” dalam Inequality and Fiscal Policy, Benedict Clements et al, eds. (Washington:
IMF, 2015), 57-76. Sebagai informasi, di Indonesia sendiri, penerimaan PPh orang pribadi masih
ditopang dari PPh Padal 21 di mana proporsinya berkisar 9% hingga 10% dari total penerimaan pajak
di mana jenis pajak ini bersumber dari pendapatan yang diterima oleh karyawan dan dipotong oleh
pemberi kerja. Di sisi lain, estimasi penghasilan yang diterima oleh orang-orang kaya (HNWI) dapat
terlihat dari penerimaan PPh Pasal 25/29 orang pribadi yang tidak dibayarkan oleh pemberi pekerjaan
melainkan disetor sendiri oleh wajib pajak. Kontribusi jenis pajak ini masih rendah yang hanya di bawah
1% dari total penerimaan pajak secara rata-rata pada kurun waktu lima tahun terakhir. Rendahnya
penerimaan ini PPh Pasal 25/29 orang pribadi dalam struktur penerimaan pajak Indonesia dapat
menjadi indikasi pula bahwa tingkat kepatuhan orang-orang kaya masih tergolong rendah. Padahal,
kepatuhan pajak untuk kelompok individu kaya dapat menjadi sinyal kepada masyarakat luas bahwa
sistem pemajakan suatu negara tersebut memiliki integritas yang baik. Selain mengindikasikan tingkat
kepatuhan yang rendah, rendahnya penerimaan dari PPh ini juga menunjukkan bahwa masih terdapat
penghasilan orang kaya yang tidak dikenakan pajak secara optimal. Lihat Darussalam, B. Bawono
Kristiaji, dan Dea Yustisia, “Prospek Pajak Warisan di Indonesia,” DDTC Working Paper 2019: 34-35.
43