Page 53 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 53
pemenuhan kriteria sistem pajak yang lainnya di atas kriteria simplifikasi pajak. 166 Artinya,
simplifikasi pajak melalui PPh final juga harus tetap memperhatikan aspek lain seperti
keadilan dan kepastian hukum.
Selain itu, harus diingat bahwa dalam maksud ‘for the ease of administration’, pemungutan
PPh final jangan sampai justru mengorbankan penerapan azas sistem pajak yang ideal.
Misalnya sekedar untuk mengejar kemudahan pemungutan pajak, lalu pemungutan menjadi
tidak adil. 167 Akibatnya, mekanisme pemungutan PPh justru berpotensi untuk menggerus
kemauan WP untuk patuh secara sukarela.
E.6 PPh Final dan Konstruksi UU PPh
Sejak berlakunya UU No. 7/1983 sampai dengan UU No. 36/2008, pemerintah telah
mengeluarkan beberapa peraturan perpajakan atas jenis penghasilan dan wajib pajak
tertentu yang dikenai pemajakan secara final dengan pertimbangan memperoleh kepastian,
keadilan, kesederhanaan, dan netralitas dalam pemungutan pajak. Lalu, apakah
pendelegasian tersebut sudah tepat?
Perlu kita pahami bahwa dalam konteks demokrasi, kekuasaan untuk mengenakan pajak
tidak boleh bersifat tidak terbatas, sehingga kekuasaan untuk mengenakan pajak harus
dibatasi dalam tataran undang-undang. 168 Hal ini penting tidak hanya untuk menjamin
terciptanya sistem pajak yang seimbang. Namun, juga mencegah otoritas pajak
mengutamakan tindakan jangka pendek untuk memenuhi target penerimaan, tapi justru
menggerus basis pajak sehingga membahayakan keberlangsungan penerimaan jangka
panjang. 169
Pada dasarnya, pembatasan kewenangan untuk mengenakan pajak dilakukan untuk
memenuhi prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Adam Smith, yaitu equality (dikenakan
sesuai dengan kemampuan membayar), certainty (harus mempunyai kepastian hukum),
convenience (dikenakan pada saat yang tidak menyulitkan), dan economy (biaya administrasi
dan kepatuhan seminimal mungkin). 170
Wujud pembatasan tersebut diterapkan dengan cara ditetapkannya penentuan basis dan tarif
pajak melalui peraturan di tingkat undang-undang atau primary law, sehingga hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan legislatif. Dalam primary law, setidak-tidaknya harus memuat
beberapa elemen penting: definisi wajib pajak, objek pajak, basis pemajakan, tarif pajak, serta
ketentuan mendasar tentang administrasi perpajakan. Hukum perpajakan juga mencakup
aturan mengenai prosedur, proses, mekanisme untuk menjalankan kebijakan pajak. 171
Hukum perpajakan mendapatkan legitimasinya dari proses demokrasi, dengan ciri adanya
diskusi publik, argumentasi, serta perdebatn dan kompromi dalam parlemen. 172 Hal ini bukan
166 Jeffrey Partlow, “The Necessity of Complexity in The Tax System,” Wyoming Law Review Vol. 13 No. 1
(2013): 305-317.
167 R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan: Pasca Reformasi 2000 (Jakarta: YP4, 2002), 78.
168 Philippe Vitu, “Fiscal Constitutionalism and the Basic of Law,” dalam Asia Pacific Tax Bulletin (1999), 407.
169 Bogumil Brzezinski, “Improving Tax Legislation: Some Theoretical Issues,” dalam Tax Legislation:
Standards, Trends and Challenges, ed. Wlodzimierz Nyikiel dan Malgorzata Sek (Wolter Kluwer SA, 2015),
24.
170 Darussalam dan Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis
terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2006), 3.
171 Jit B. S. Gill, A Diagnostic Framework for Revenue Administration (Washington D.C.: The World Bank,
2000), 17.
172 Dominic de Cogan, “Tax, Discretion and the Rule of Law,” dalam The Delicate Balance: Tax, Discretion and
the Rule of Law, ed. Chris Evans, Judith Freedman dan Richard Krever (Amsterdam: IBFD, 2011), 16-17.
48