Page 54 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 54
berarti seluruh detail kerangka kebijakan perpajakan harus ada di dalam primary law. 173 Akan
tetapi, kurang detailnya suatu primary law bukan langsung diartikan pemberian mandat atau
diskresi yang lebih besar kepada otoritas pajak. 174
Di Indonesia, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dalam undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Artinya, kekuasaan mengenakan pajak harus
dibatasi. Salah satunya dengan memastikan bahwa ketentuan mengenai subjek, objek, tarif
dan prosedur pelunasannya sebisa mungkin tidak didelegasikan kepada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang. 175 Misalnya dengan
memberikan delegasi terlalu luas kepada Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan
Menteri Keuangan (PMK). Klasul seperti ‘akan diatur kemudian’, ‘diatur dengan’, ‘diatur
melalui’, dan sebagainya, harus dibatasi.
Dalam konteks PPh final, Pasal 4 ayat (2) UU PPh menetapkan pengenaan pajak atas jenis-
jenis penghasilan tertentu yang berbeda dengan jenis-jenis penghasilan yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (1). Dalam Pasal 4 ayat (2) tersebut, diatur bahwa atas penghasilan-penghasilan
yang disebutkan di dalamnya, pengenaan pajaknya diatur melalui PP. Dengan kata lain,
pemerintah berwenang untuk mengatur pengenaan pajak atas “penghasilan tertentu lainnya”
di luar penghasilan yang ditentukan oleh undang-undang.
Pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah untuk mengenakan pajak atas penghasilan
tertentu lainnya tersebut menunjukkan bahwa objek pajak yang dapat dikenakan pajak
dengan peraturan pemerintah menjadi ‘tidak terbatas’. Apalagi kalau dalam praktiknya
seperti yang terjadi selama ini, pengenaan pajak yang diatur melalui PP telah menimbulkan
‘diskriminasi’ beban pajak antara wajib pajak yang satu dengan wajib pajak yang lainnya
karena perbedaan jenis penghasilan yang mereka peroleh. Padahal, menurut teori keadilan
vertikal, besar kecilnya beban pajak bukan ditentukan oleh jenis penghasilannya, tetapi oleh
besar kecilnya jumlah penghasilan.
Lebih lanjut, pendelegasian kekuasaan untuk mengenakan pajak (menetapkan tax base dan
tax rate) atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) tersebut
seharusnya tidak dapat diberikan kepada pemerintah. Hal ini disebabkan karena Pasal 23A
UUD 1945 telah menyatakan secara tegas bahwa pengenaan pajak harus melalui undang-
undang. Artinya, bahwa setiap pengenaan pajak terhadap suatu jenis penghasilan yang
diperoleh oleh wajib pajak (rakyat) harus sepengetahuan dan persetujuan DPR sebagai
lembaga yang mewakili wajib pajak yang terkena beban pajak tersebut.
Persoalan yang tidak kalah penting adalah struktur UU PPh yang ada seringkali menimbulkan
kebingungan dari masyarakat. Terutama mengenai alur, pengelompokan, serta penjelasan
yang kurang mendetail. Hal ini sebenarnya dikarenakan struktur UU No. 36/2008 merupakan
perubahan keempat dari UU No. 7/1983 sehingga terdapat pasal yang terkesan diselipkan dan
tambal sulam. Apalagi jika kita melihat bahwa filosofi yang ada di dalam setiap rezim UU PPh
semakin bergeser dari apa yang menjadi gagasan awal. Tersebarnya pasal-pasal yang
berkaitan dengan pemungutan yang bersifat final dalam UU PPh yang berlaku saat ini pada
173 Frans Vanistendael, “Legal Framework for Taxation,” dalam Tax Law Design and Drafting Volume 1, ed.
Victor Thuronyi (Washington D.C.: IMF, 1996), 17.
174 Dominic de Cogan, “Tax, Discretion and the Rule of Law,” dalam The Delicate Balance: Tax, Discretion and
the Rule of Law, ed. Chris Evans, Judith Freedman dan Richard Krever (Amsterdam: IBFD, 2011), 6.
175 R. Mansury, Penghitungan dan Pemotongan Pajak atas Penghasilan dari Pekerjaan (PPh Pasal 21 dan
Pasal 26), (1999), 153, seperti dikutip dalam Darussalam dan Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan
untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di
Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2006), 4.
49