Page 55 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 55
dasarnya bisa dipahami. Seperti yang telah kita ulas sebelumnya, pemungutan yang bersifat
final bisa timbul akibat berbagai tujuan dan berhubungan dengan subjek atau objek tertentu.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu perubahan atau pembaharuan UU PPh sehingga lebih
komprehensif, menjaga kontinuitas penerimaan negara, mendorong pertumbuhan ekonomi,
dan lebih memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi otoritas pajak dan wajib
pajak. Atas pembaharuan UU PPh tersebut, pengenaan pajak yang bersifat final seyogyanya
dikelompokkan berdasarkan karakteristik yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
F. Simpulan dan Rekomendasi
Terminologi PPh final di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditemukan. Itu adalah
istilah yang ‘kabur’. Seringkali kita mengasosiasikan PPh final dengan salah satu wajib pajak
tertentu, membuat istilah baru yang membedakan antara ‘PPh final’, ‘PPh yang bersifat final’,
dengan ‘PPh dengan tarif final’, ataupun memaknai PPh final pada praktik pelaporan SPT
semata. Itu belum seberapa. Kita juga tidak mengenal konsep dan alasan
diimplementasikannya PPh final di Indonesia.
Padahal, dalam UU PPh beserta ketentuan turunannya kita menemukan banyak kata ‘final’
atau ‘bersifat final’. Sebut saja PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2c), Pasal 19, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 26. Kesulitan untuk menemukan terminologi dan konsep PPh final di
Indonesia agaknya dipengaruhi oleh berbagai perubahan atas UU No.7/1983 tanpa disertai
narasi yang jelas mengenai gagasan di belakangnya.
Penelusuran historis mengenai UU PPh dari masa ke masa menemukan beberapa temuan
menarik. Pertama, terdapat pergeseran sistem PPh di Indonesia, dari global menjadi schedular
tax system yang berupaya memisahkan perlakuan pajak berdasarkan jenis penghasilan. Dalam
hal ini, PPh final diperkenalkan sebagai jalan tengah transisi tersebut. Kedua, perubahan
dalam UU PPh di Indonesia mencakup pemisahan pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari modal dan penghasilan yang berasal dari pekerjaan. Pemisahan ini pada dasarnya
selaras dengan tren reformasi pajak di banyak negara selama tiga dekade terakhir yang
mengadopsi dual income tax. Tujuannya meningkatkan daya saing atas investasi (penghasilan
dari modal) sembari mempertahankan progresivitas sistem PPh yang berlaku secara umum,
memperluas basis pajak, serta mengatasi kelemahan yang ada dalam global tax system. Skema
withholding tax yang bersifat final merupakan cara yang dipergunakan negara berkembang
pada sistem dual income tax.
Ketiga, PPh final menjadi solusi yang feasible secara administrasi dalam hal menerapkan
sistem pemajakan berbasis keluarga (family taxing unit) maupun kebijakan presumptive tax.
Tidak hanya itu, penggunaan pajak yang bersifat final relatif sederhana dan mudah untuk
diimplementasikan, walau mungkin bukan first-best policy. Satu hal yang pasti, penghasilan
yang telah dikenakan pengenaan pajak yang bersifat final tersebut diisolasikan dan tidak
boleh digabungkan dengan perhitungan penghasilan yang dikenakan rezim umum.
Dari penelusuran mengenai sejarah serta karakteristiknya, penulis juga merumuskan
taksonomi PPh final di Indonesia atas lima kelompok, (i) PPh final yang dikenakan atas
penghasilan SPLN, (ii) PPh final yang didorong oleh pemisahan penghasilan dari modal
dengan penghasilan dari pekerjaan, (iii) PPh final sebagai pendukung kebijakan presumptive
tax, (iv) PPh final yang menjamin berlangsungnya sistem pemajakan berbasis keluarga, serta
(v) PPh final yang lebih didorong untuk tujuan kesederhanaan, kepatuhan, dan penerimaan.
Masing-masing kelompok tersebut memiliki kekhasannya masing-masing yang nantinya
dapat menjadi panduan dalam mengevaluasi efektivitas dan dampak PPh final di Indonesia.
50