Page 52 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 52
valid lainnya. 160 Selain digunakan untuk meningkatkan kepatuhan, program ini juga
diimplementasikan untuk menyederhanakan prosedur pelaporan pajak. 161
Ketiga, relevansi upaya simplifkasi dengan paradigma sistem pajak kita. PPh final tidak bisa
dilepaskan dari upaya menciptakan kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak. Hal ini
juga tertera dalam penjelasan mengenai pokok-pokok perubahan dari UU No. 10/1994:
“13. Dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak serta untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, diatur pemungutan pajak yang bersifat final
atas penghasilan-penghasilan tertentu.”
(dengan penambahan penekanan)
Pemungutan pajak yang bersifat final harus diakui sebagai solusi situasi pajak pada saat itu.
Masih belum sempurnanya ketersediaan informasi mengenai perpajakan dan rendahnya
pengetahuan masyarakat tentang pajak jelas menciptakan keterbatasan bagi pemerintah
untuk secara ideal mengenakan pemungutan pajak yang tidak bersifat final. Artinya,
keputusan untuk memilih skema pemungutan yang bersifat final didasari oleh pertimbangan
mengenai kesulitan yang dihadapi oleh wajib pajak dalam menghitung, menyetor, dan
melaporkan pajak. Situasi ini agaknya mengamini pendapat Das-Gupta bahwa keterbatasan
administrasi pajak akan menentukan bentuk desain sistem pajak di negara berkembang. 162
Pertanyaannya, apakah situasi yang dihadapi pada dekade 1990-an tersebut masih relevan di
masa saat ini? Kita memang masih memiliki tantangan belum terbentuknya masyarakat melek
pajak di Indonesia, namun informasi mengenai sektor pajak sudah semakin banyak tersedia
secara mudah dan gratis. 163 Sejak beberapa tahun silam, Ditjen Pajak juga telah memulai
program inklusi pajak maupun memberikan pelayanan dan edukasi melalui berbagai media.
Dengan demikian pengenaan PPh yang bersifat final seharusnya semakin berkurang di masa
mendatang.
Selain itu, simplifikasi pajak pada prinsipnya harus diletakkan dalam perspektif gambaran
besar dari tujuan diadakannya suatu sistem atau kebijakan pajak. 164 Simplifikasi pajak perlu
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pajak ketimbang sebagai tujuan pajak itu
sendiri. 165 Maka tidak mengherankan jika berbagai negara lebih memprioritaskan
160 Informasi yang bersumber dari pihak ketiga akan tersedia secara otomatis pada formulir laporan SPT
wajib pajak di mana wajib pajak kemudian melakukan konfirmasi atas kesesuaian data dan informasi
yang disediakan tersebut. Lihat OECD, “Using Third Party Information Reports to Assist Taxpayers Meet
their Return Filing Obligations – Country Experiences with the Use of Pre-populated Personal Tax
Returns,” CTPA Information Note. (2006).
161 Dea Yustisia, “Menilik Gagasan Pre-Populated Tax Return,” DDTCNews (17 Mei 2018).
162 Lihat Arindam Das-Gupta, “Implications of Tax Administration for Tax Design: A Tentative Assessment,”
dalam James Alm, Jorge Martinez-Vazquez, dan Mark Rider, The Challenges of Tax Reform in a Global
Economy (New York: Springer, 2006), 363-412.
163 Kaitan antara ketersediaan informasi yang sempurna dengan kepatuhan pajak dapat dilihat pada B.
Bawono Kristiaji, “Asymmetric Information and Its Impact on Tax Compliance Cost in Indonesia: A
Conceptual Approach,” DDTC Working Paper 0113 (2013).
164 Upaya simplifikasi pajak perlu melihat dampaknya terhadap kemampuan sistem pajak mengakomodasi
perluasan basis pajak, distribusi beban pajak, efisiensi, dampaknya terhadap mekanisme administrasi,
dan sudut pandang politis. Lihat J. Clifton Fleming Jr, “Some Cautions Regarding Tax Simplification,”
dalam Tax Simplification, ed. C. Evans, Richard Krever, dan Peter Mellor (Alphen aan den Rijn: Kluwer
Law International, 2015), 232-233.
165 Binh Tran-Nam, “Tax Reform and Tax Simplification: Conceptual and Measurement Issues and Australian
Experiences,” dalam The Complexity of Tax Simplification: Experiences from Around the World, ed. Simon
James, Adrian Sawyer, dan Tamer Budak (New York: Palgrave Macmillan, 2016), 14-38.
47