Page 44 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 44
E. Tinjauan Kritis dan Relevansi PPh Final di Indonesia
E.1 PPh Final dan Kepatuhan Pajak
Ketidakpatuhan pajak merupakan tantangan terbesar bagi terselenggaranya sistem pajak
yang optimal. Banyak faktor yang menjadi penyebab ketidakpatuhan tersebut, misalkan
shadow economy, moral pajak yang rendah, tidak adanya informasi pembanding dalam rangka
mengawasi kepatuhan menjadi penyebab, dan sebagainya. Banyak strategi yang bisa
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, dua di antaranya ialah (i) metode remittance, yaitu
mekanisme pemotongan, pemungutan, dan/atau penyetoran pajak oleh pihak ketiga yang
mana kerap dikaitkan dengan skema withholding tax, serta (ii) metode simplifikasi yang kerap
dikaitkan dengan presumptive tax. 116 Kedua metode tersebut -withholding tax dan
presumptive tax- merupakan elemen yang bisa kita temui dari rezim PPh final di Indonesia.
Lantas, bagaimana kaitannya dengan kepatuhan di Indonesia?
Perrtama, mekanisme withholding tax. Mekanisme withholding tax dianggap efektif dalam
meningkatkan tingkat kepatuhan pajak, karena pajak langsung dipungut atau dipotong oleh
agen pemungut atau pemotong PPh. 117 Martinez-Vazquez et al. menyatakan bahwa
mekanisme withholding tax secara otomatis menutup kemungkinan adanya praktik
ketidakpatuhan pajak secara signifikan. 118 Selain efektif, mekanisme ini juga dianggap efisien
karena mengurangi biaya pemungutan PPh bagi pemerintah. 119 Menurut Dušek dan Bagchi,
terdapat beberapa penelitian yang mengonfirmasi yang memberikan bukti empiris bahwa
withholding tax dapat meningkatkan efisiensi pemerintah. 120
Di sisi lain, mekanisme withholding tax dianggap kompleks dan membebani arus kas pihak
pemotong/pemungut. Dari sisi pemungut atau pemotong pajak, mekanisme ini menambah
biaya yang harus dikeluarkan. Pemungut atau pemotong pajak diharuskan menanggung biaya
administrasi dalam rangka pengumpulan pajak. Lebih lanjut lagi, apabila terdapat kekeliruan
ataupun keterlambatan dalam pemungutan atau pemotongan pajak, agen tersebut akan
menanggung sanksi administrasi berupa penambahan pembayaran pajak ataupun sanksi
administrasi lainnya. 121 Artinya, mekanisme ini membebani pihak lain yang ditunjuk sebagai
agen penyetor, yaitu perusahaan dan/atau lembaga keuangan. 122 Dapat disimpulkan bahwa
mekanisme withholding tax pada hakikatnya ini hanya memindahkan cost of administration
dari otoritas ke pihak penyetor.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika total pajak yang disetorkan oleh perusahaan -baik
atas beban pajaknya (legal tax liability) maupun atas kewajiban penyetoran pihak lain (legal
remittance responsibility)- kepada pemerintah sangatlah besar. Studi yang dilakukan oleh
Slemrod dan Velayudhan memperlihatkan bahwa total setoran pajak yang berasal dari
116 Lihat Joel Slemrod, “Tax Compliance and Enforcement,” NBER Working Paper No. 24799 (2018).
117 Piroska Soos, Self-Employed Evasion and Tax Withholding: A Comparative Study and Analysis of the Issues
(University of California Davis, 1990), 122.
118 Jorge Martinez-Vazquez, Gordon B. Harwood, dan Ernest R. Larkins, “Withholding Position and Income
Tax Compliance: Some Experimental Evidence,” Public Finance Review Vol. 2 (1992): 152-174.
119 Karl Frieden, Ashley Giles, dan Josh Howell, “Global Withholding Taxes: The Awakening Giant,” Tax Notes
International, 17 September 2012: 1147.
120 Libor Dušek dan Sutirtha Bagchi, “Are Efficient Taxes Responsible for Big Government? Evidence from
Tax Withholding,” SSRN Papers (2016): 2-3.
121 Christian Vossler dan Michael McKee, “Behavioral Effects of Tax Withholding on Tax Compliance:
Implications for Information Initiatives,” Department of Economics Working Paper No. 15-12 (2015): 12.
122 Richard M. Bird, “Why Tax Corporations?” Bulletin for International Taxation (Mei, 2002): 199.
39