Page 28 - Working Paper (Metode dan Teknik Proyeksi Penerimaan Pajak: Panduan dan Aplikasi)
P. 28

Hasil studi Marks menyimpulkan bahwa tax gap penerimaan PPN ialah sebesar 45% di bawah potensi
                                                                                                  74
               penerimaan yang seharusnya dapat dicapai  dengan menggunakan Tabel I-O tahun  1995.   Lebih
               lanjut, Sugara  dan  Hidayat secara  lebih komprehensif menyatakan  bahwa  tingkat kepatuhan
               pemenuhan kewajiban PPN dan PPnBM di Indonesia hanya sekitar 53% pada tahun 2013 dengan
                                                75
               menggunakan Tabel I-O tahun 2008.
               Di Indonesia sendiri, PPN dikenakan secara efektif atas konsumsi akhir Barang Kena Pajak (BKP) dan
                                    76
               Jasa Kena Pajak (JKP).   Dengan demikian, apabila  ingin  melakukan  proyeksi  penerimaan PPN di
               Indonesia maka pendekatan yang paling mendekati realisasi ialah basis konsumsi dalam Tabel I-O
               terkini yang dipublikasikan oleh BPS, yakni Tabel I-O 2010 . Berdasarkan data tersebut, beberapa nilai
               yang dapat diproyeksi untuk menjadi basis PPN dengan pendekatan konsumsi ialah konsumsi antara,
               konsumsi akhir (rumah tangga, LNPRT, serta pemerintah), impor, dan ekspor jasa.

               G.  Kontribusi DDTC Fiscal Research dalam Revenue Forecasting


               Sejak tahun 2013, DDTC (Fiscal Research) telah menginisiasi upaya melakukan proyeksi penerimaan
               pajak  (dan perpajakan)  di Indonesia.  Langkah tersebut  didorong keprihatinan mengenai target
               penerimaan pajak yang sejak tahun 2009 tidak pernah tercapai. Risiko fiskal, terutama defisit
               anggaran yang melebar, berpotensi timbul dari realisasi yang berada di bawah target penerimaan
               pajak. Tidak terpenuhinya target juga menciptakan sinyalemen bahwa ruang untuk melakukan
               ekspansi dalam pendanaan pembangunan menjadi terbatas. Tidak hanya itu, melesetnya  target
               menciptakan risiko reputasi pemerintah karena pudarnya kepercayaan publik terhadap estimasi
               (postur APBN) yang disusun oleh pemerintah.

               Kami memahami bahwa proses penganggaran merupakan bagian dari politik ekonomi sektor fiskal
               Indonesia. Walau demikian, adanya target yang lebih condong kepada pendekatan teknokratis akan
               menjamin prediktibilitas dan kepastian bagi sistem pajak, terutama karena bisa mengurangi orientasi
               untuk menutupi penerimaan jangka pendek semata.

               Oleh karena  itu, DDTC mengajukan proyeksi yang  bersifat alternatif dalam rangka memberikan
               rambu-rambu atau indikasi sejauh mana target penerimaan pajak feasible untuk dicapai. Proyeksi
               tersebut bukan disusun untuk tujuan ‘mengkritik’ angka target yang telah disusun pemerintah, namun
               justru untuk mengajukan sisi akademis dari kegiatan penganggaran yang kerap mencampuradukkan
               antara pendekatan teknokratis dan politis. Pendekatan teknokratis juga bisa dipergunakan sebagai
               rujukan sejauh mana extra effort dibutuhkan untuk mencapai target penerimaan pajak. Di tengah
               kekosongan upaya revenue forecasting di luar pihak pemerintah, DDTC Fiscal Research berinisiatif
               untuk mengambil peran tersebut.

               Hingga saat ini, pendekatan yang diambil oleh DDTC Fiscal Research adalah proyeksi berbasis data
               makro. Alasannya, karena pendekatan berbasis data mikro lebih tepat untuk perhitungan dampak
               kebijakan ataupun perhitungan potensi penerimaan. Model  univariate, tax buoyancy,  serta
               multivariate menjadi pendekatan yang sering diaplikasikan. Hasil estimasi yang bervariasi tersebut
               umumnya disajikan dalam bentuk rentang. Artinya, hasil estimasi yang memberikan nilai terendah
               akan dianggap sebagai proyeksi pesimis dan hasil estimasi dengan nilai tertinggi dianggap sebagai
               proyeksi optimis. Pengecualian terjadi pada tahun 2013 di mana proyeksi hanya dilakukan dengan



               74     S. V. Marks, “The Value-Added Tax in Indonesia: The Impact of Sectoral exemptions on Revenue Potential and
                     Effective Tax Rates,” Technical Report (Bappenas & USAID/ECG: Jakarta, 2003).
               75     Rubino Sugana dan Asrul Hidayat, “Analysis of VAT Revenue Potential and Gap in Indonesia 2013,”  Jurnal
                     Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 15 No. 1 (Juli 2014): 1-40.
               76     Hal ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU No. 42/2009).
                                                                                                       26
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33