Page 4 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 4
tentang konsep dasar PPh final pun juga telah menyebabkan tidak adanya suatu benchmark
untuk menguji sejauh mana keselarasan implementasi PPh final di Indonesia.
Menariknya, implementasi PPh final kerap bersinggungan dengan konsep mengenai sistem
dan kebijakan pajak, serta interaksinya dengan keterbatasan administrasi pajak. Dari
berbagai literatur, PPh final merupakan implikasi dari sistem pajak penghasilan yang dipilih
oleh suatu negara, yaitu schedular dan dual income tax. Penerapannya juga sering menjadi
bagian tidak terpisahkan dari dua terobosan kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan, yaitu
presumptive tax dan mekanisme withholding tax. PPh yang bersifat final juga berkaitan dengan
prinsip simetris dan ring-fencing. Seluruh konsep tersebut nantinya akan dipergunakan dalam
menjawab definisi skema PPh final di Indonesia dan sejauh mana kesesuaiannya dengan
filosofi dan tujuannya secara teori.
Selain itu, pemungutan pajak secara final ini dianggap ‘menyampingkan’ asas pajak yang ideal,
terutama aspek keadilan (equality) dan kemampuan membayar (ability to pay) yang
seharusnya diterapkan dalam PPh. PPh final juga dianggap menyalahi ruh PPh sebagai pajak
yang bersifat subjektif. Di sisi lain, mengingat PPh final yang merupakan bagian sistem
7
pemotongan pihak ketiga (withholding tax), pengenaan PPh final juga dapat menimbulkan
beban administrasi bagi wajib pajak yang diberi kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak.
8
Pertanyaannya, apakah kritik mengenai PPh final di Indonesia hanya terbatas pada hal-hal
tersebut? Sejauh mana kelemahan implementasinya bisa ditutupi oleh manfaatnya?
Bagaimanakah relevansi penerapan PPh final di masa mendatang?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari tinjauan
historis serta perkembangan lanskap pajak ke depan. Sebagai contoh, pemisahan PPh final
dan non final ini tentu bukanlah sebuah keputusan yang dibuat semata-mata untuk
mempersulit wajib pajak. Merujuk penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, ada beberapa
pertimbangan yang menjadi dasar penerapan pajak final, di antaranya kesederhanaan
(simplicity) dalam pemungutan pajak dan berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib
pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Untuk memahami lebih dalam, dalam working paper ini turut dibahas analisis atas tiap
kategori PPh final yang dibedakan berdasarkan karakteristiknya. Tinjauan atas relevansi PPh
final juga akan mencakup aspek kepatuhan pajak, ketimpangan, pendelegasian kewenangan,
hingga usulan bagi revisi UU PPh mendatang. Lebih lanjut, working paper ini tidak akan
melakukan analisis maupun usulan desain atas masing-masing jenis PPh yang bersifat final.
Secara garis besar, working paper ini terdiri dari 6 bagian. Bagian A dan B merupakan
pendahuluan dan konsep. Bagian C akan dibahas mengenai penerapan PPh final di Indonesia
sejak 1984 hingga saat ini. Selanjutnya, interpretasi historis, definisi, konsep, dan taksonomi
7 Berdasarkan sifatnya jenis pajak digolongkan menjadi pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif
adalah pajak yang berpangkal pada subjeknya sedangkan pajak objektif berpangkal kepada objeknya.
Contoh pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebagai pajak subjektif, pengenaan PPh
memperhatikan keadaan diri atau kemampuan wajib pajak dalam memperoleh penghasilan. Namun,
dalam praktiknya PPh final lebih memperhatikan jenis ‘objek penghasilan’ dibandingkan dengan subjek
pajaknya. Artinya, apabila suatu penghasilan masuk klasifikasi objek PPh final, maka atas penghasilan
tersebut akan dikenai pajak tanpa memperhatikan kondisi subjek pajak yang sebenarnya.
8 Pernyataan Thomas G. Vitez seperti yang dikutip oleh Mansury dalam bukunya Indonesian Income Tax
System: A Case Study in Tax Reform of Developing Country (Singapura: Asia Pacific Tax and Investment
Research Centre, 1992), 188.
2