Page 9 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 9
income tax merupakan sistem pengenaan PPh yang mengkombinasikan antara pure global
taxation dan pure schedular taxation. Dalam sistem ini, tidak semua penghasilan digabung
29
untuk dikenai pajak secara global. Namun, terdapat penghasilan-penghasilan yang dikenai
pajak secara terpisah meskipun keduanya diterima oleh wajib pajak yang sama. Oleh karena
itu, pada saat perhitungan harus dipisahkan terlebih dahulu penghasilan yang dikenai pajak
berdasarkan schedular taxation dengan penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan global
taxation.
Dual income tax bisa dianggap suatu terobosan untuk menanggulangi kelemahan dari global
tax system tanpa melangkah terlalu jauh menuju schedular tax system. Penerapan dual income
tax diinisiasi pertama kali oleh negara-negara Skandinavia, yaitu Denmark, Filandia,
Norwegia, dan Swedia. Pada awalnya negara-negara tersebut menerapkan global tax system,
30
yang mana atas beban pajak dihitung atas total gabungan seluruh jenis penghasilan dengan
tarif yang progresif. Hal tersebut mendorong adanya tren capital flight serta rendahnya
kepemilikan investasi portfolio dalam negeri di tengah globalisasi yang meningkat. Selain itu,
penggabungan seluruh jenis penghasilan telah menciptakan insentif untuk melakukan offset
atas kerugian yang dialami pada penghasilan dari modal terhadap pajak terutang. Oleh karena
itu, negara-negara tersebut kemudian memisahkan perlakuan pajak antara penghasilan dari
modal (kapital) dengan penghasilan dari pekerjaan (labor). Tarif penghasilan dari modal
kemudian diturunkan mendekati tarif terendah PPh orang pribadi, sedangkan tarif atas
penghasilan berbasis pekerjaan tidak berubah (tetap progresif).
31
Pemisahan tersebut kemudian berhasil menciptakan daya saing atas investasi di sektor
keuangan, sekaligus menjamin progresivitas sistem PPh. Tidak hanya itu, pemisahan
perlakuan tersebut turut mengurangi tergerusnya basis pajak atas penghasilan dari
pekerjaan, yang sebelumnya banyak dikurangi oleh biaya-biaya atas penghasilan dari modal.
Selain itu, pemisahan tersebut memberikan solusi bagi kesulitan wajib pajak dalam
melakukan perhitungan (administrasi) sebagian penghasilan dari modal pada saat
diberlakukannya global tax system, yang akhirnya berdampak bagi kepatuhan atas seluruh
penghasilan. Dual income tax juga selaras dengan teori keuangan publik yang mensyaratkan
32
adanya pemisahan antara penghasilan dari modal dan pekerjaan, maupun pemisahan antara
penghasilan yang dipergunakan untuk konsumsi saat ini dan saat mendatang (dalam kasus
tabungan).
33
Lebih lanjut lagi, kelebihan utama dual income tax juga terletak pada berkurangnya biaya
kepatuhan (compliance cost), biaya pemungutan, serta biaya pengawasan (administrative
cost). Tarif yang relatif rendah dan tunggal (flat) atas penghasilan dari modal mengurangi
34
distorsi dalam hal keputusan investasi maupun menginternalisasikan inflasi yang umumnya
menyertai nilai investasi.
Atas keunggulan dari dual income tax, banyak negara kemudian mengadopsi sistem tersebut.
Pada penerapannya, jenis penghasilan yang dianggap sebagai modal mencakup bunga,
dividen, capital gain, sewa, penghasilan dari properti pribadi, royalti, dan penghasilan dari
29 Lee Burns dan Richard Krever, Loc.Cit.
30 Richard M. Bird dan Eric M. Zolt, “Dual Income Taxation and Developing Countries,” Columbia Journal of
Tax Law Vol.1 (2010): 174-217
31 Peter Birch Sorensen, “Dual Income Taxation: Why and How?” Cesifo Working Paper No. 1551
(September 2005).
32 Peter Birch Sorensen, “The Nordic Dual Income Tax: Principles, Practices, and Relevance for Canada,”
Canadian Tax Journal Vol. 55 No.3 (2007): 565.
33 Robin Boadway, “The Dual Income Tax System – An Overview” Cesifo DICE Report 3 (2004): 3-8.
34 Bernd Genser, “The Dual Income Tax: Implementation and Experience in European Countries,”
Ekonomski Pregled, Vol. 57 No 3-4 (2006): 285.
7