Page 11 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 11

negeri	 (SPDN)	 maupun	 luar	 negeri	 (SPLN). 	Melalui	 withholding	 tax	 yang	 bersifat	 final
                                                            45
                   tersebut	 maka	 informasi	 atas	 profil	 ekonomi	 wajib	 pajak	 bisa	 lebih	 mudah	 dipetakan.
                   Penerapannya	juga	bisa	dipadukan	dengan	kebijakan	presumptive	tax.

                   Sebagai	penutup,	dual	income	tax	berupaya	memisahkan	perlakuan	pajak	atas	penghasilan
                   dari	modal	dan	pekerjaan.	Pemberlakuan	withholding	tax	yang	bersifat	final	kerap	dianggap
                   sebagai	elemen	penting	dari	dual	income	tax.	Namun,	bukan	berarti	bahwa	perlakuan	pajak
                   atas	penghasilan	yang	dipisahkan	tersebut	bersifat	final.	Pada	umumnya,	mekanisme	kredit
                   dan	 biaya	 pengurang	 penghasilan	 tetap	 dimungkinkan.	 Namun,	 hanya	 atas	 penghasilan
                   tersebut	 dan	 tetap	 tidak	 boleh	 digabungkan	 bersama	 penghasilan	 yang	 diperhitungkan
                   dengan	rezim	umum.

                   B.3  PPh	Final	sebagai	Konsekuensi	Kebijakan	Pajak

                   B.3.1  Presumptive	Tax

                   Salah	satu	terobosan	yang	populer	dalam	meningkatkan	kepatuhan	pajak	ialah	presumptive
                   tax.	Penggunaan	kata	presumptive	yang	berarti	“dugaan”	di	sini	mengacu	pada	asumsi	yang
                   dipergunakan	melalui	metode	tidak	langsung	untuk	menghitung	besaran	pajak	terutang.
                                                                                                  46
                   Tujuan	 yang	 mendasari	 penggunaan	 presumptive	 tax	 dapat	 berasal	 dari	 beberapa	 hal.
                   Pertama,	yaitu	tujuan	simplifikasi.	Hal	ini	diperlukan	ketika	wajib	pajak	menghadapi	biaya
                   kepatuhan	 (compliance	 cost)	 yang	 tinggi	 untuk	 memenuhi	 kewajiban	 perpajakannya.
                   Keberadaan	presumptive	tax	pada	akhirnya	juga	akan	menurunkan	biaya	administrasi	yang
                   diperlukan	 oleh	 otoritas	 pajak	 untuk	 menjamin	 kepatuhan	 wajib	 pajak	 tersebut.	 Dengan
                   demikian,	efisiensi	terjadi	antara	kedua	belah	pihak. 	Kedua,	untuk	meningkatkan	kepatuhan
                                                                 47
                   pajak	 dengan	 menutup	 kemungkinan	 praktik	 penghindaran	 atau	 pengelakan	 pajak	 yang
                   terjadi	dalam	rezim	normal. 	Selain	itu	kepatuhan	meningkat	juga	disebabkan	karena	adanya
                                            48
                   kemudahan	bagi	kelompok	wajib	pajak	tertentu	yang	sulit	untuk	memenuhi	kewajibannya
                   jika	diberikan	perlakuan	pajak	umum. 	Ketiga,	dengan	lebih	terjaminnya	kepatuhan,	maka
                                                      49
                   distribusi	 beban	 pajak	 secara	 adil	 dan	 merata.	 Jika	 basis	 yang	 digunakan	 untuk	 metode
                   penghitungan	beban	pajak	secara	tidak	langsung	ditetapkan	secara	tepat,	maka	hal	tersebut
                   akan	menghasilkan	distribusi	beban	pajak	yang	lebih	baik.
                   Terkait	dengan	tujuan	yang	kedua,	yaitu	tujuan	kepatuhan,	penerapan	presumptive	tax	erat
                   kaitannya	dengan	sektor-sektor	yang	sulit	dipajaki	(hard-to-tax	sector).	Fenomena	ini	timbul
                   karena	otoritas	pajak	mengalami	kesulitan	untuk	mengidentifikasi	penghasilan	atau	transaksi
                   sebenarnya	(aktual)	yang	dapat	digunakan	sebagai	basis	pengenaan	pajak.	Sektor	yang	dapat
                   dikategorikan	 sebagai	 hard-to-tax	 sector	 dapat	 berbeda-beda	 tergantung	 pada	 jenis	 pajak
                   yang	dibahas.
                               50
                   Das-Gupta	menilai	bahwa	kelompok	hard-to-tax	sector	merupakan	sekelompok	wajib	pajak
                   yang	memperoleh	penghasilannya	dari	berbagai	sumber	transaksi	yang	terpisah	satu	sama



                   45 		 Richard	M.	Bird	dan	Eric	M.	Zolt,	“Dual	Income	Taxation	and	Developing	Countries,”	Columbia	Journal	of
                       Tax	Law	Vol.1	(2010):	201.
                   46 		 Victor	Thuronyi,	“Presumptive	Taxation,”	dalam	Tax	Law	Design	and	Drafting,	Victor	Thuronyi,	ed.	(IMF,
                       1996):	1.
                   47 		 Vito	Tanzi	dan	Milka	C,	de	Jantscher,	“Presumptive	Income	Taxation:	Administrative,	Efficiency,	and
                       Equity	Aspects,”	IMF	Working	Paper	WP/87/54	(1987):	1-15.
                   48 		 Penerapan	presumptive	tax	akan	terjustifikasi	apabila	basis	yang	digunakan	dalam	metode	penghitungan
                       sulit	untuk	disembunyikan	wajib	pajak	untuk	tidak	patuh.	Lihat	Arye	Lapidoth,	The	Use	of	Estimation	for
                       the	Assessment	of	Taxable	Business	Income,	sebagaimana	dikutip	dalam	Victor	Thuronyi,	“Presumptive
                       Taxation,”	dalam	Tax	Law	Design	and	Drafting,	Victor	Thuronyi,	ed.	(IMF,	1996):	2.
                   49 		 Kathleen	D.	Thomas,	“Presumptive	Collection:	A	Prospect	Theory	Approach	to	Increasing	Small	Business
                       Tax	Compliance,”	Tax	Law	Review	Vol.	67	(2013):	111-168.
                   50 		 James	Alm,	Jorge	Martinez-Vazquez,	dan	Friedrich	Schneider,	“’Sizing’	the	Problem	of	the	Hard-to-Tax,”
                       dalam	Taxing	the	Hard-to-Tax:	Lessons	from	Theory	and	Practice	(Elsevier	B.V.,	2004),	13.


                   	                                                                                 9
   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16