Page 22 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 22

Kelima,	PPh	final	atas	revaluasi	aset	yang	atur	dalam	Pasal	19.	Pada	dasarnya	ketentuan	Pasal
                   19	 telah	 ada	 sejak	 UU	 No.	 7/1983,	 namun	 baru	 pada	 perubahan	 kedua	 ini,	 UU	 PPh
                   memberikan	 wewenang	 kepada	 menteri	 keuangan	 untuk	 mengatur	 lebih	 lanjut	 terkait
                   aktivitas	revaluasi	aset.	Pada	masa	ini,	terbit	KMK	No.	507/PMK.04/1996	yang	menyatakan
                   bahwa	 selisih	 lebih	 karena	 penilaian	 kembali	 setelah	 dilakukan	 kompensasi	 kerugian
                   dikenakan	PPh	yang	bersifat	final	sebesar	10%.	KMK	ini	kemudian	dicabut	dan	diganti	secara
                   berturut-turut	dengan	beberapa	KMK,	yaitu	KMK	No.	18/PMK.04/1998	dan	terakhir	KMK	No.
                   384/PMK.04/1998.

                   Keenam,	PPh	Pasal	21	yang	bersifat	final	atas	honorarium	yang	diterima	pejabat	negara,	PNS,
                   TNI,	 dan	 Polri	 yang	 dananya	 dibebankan	 pada	 APBN/APBD	 dengan	 berlandaskan	 pada
                   ketentuan	Pasal	21	ayat	(5).	Hal	ini	diatur	lebih	lanjut	dalam	PP	No.	45	Tahun	1994	yang
                   mengenakan	pemotongan	PPh	final	sebesar	15%	atas	jumlah	bruto.

                   Ketujuh,	muncul	pula	pengenaan	PPh	final	Pasal	22	atas	penjualan	jenis	produk	tertentu	yang
                   diatur	 dalam	 keputusan	 menteri	 keuangan.	 KMK	 pertama	 yang	 terbit	 adalah	 KMK	 No.
                   599/KMK.04/1994,	di	mana	penjualan	hasil	produksi	yang	dilakukan	oleh	Pertamina	dan
                   badan	usaha	selain	Pertamina	yang	bergerak	di	bidang	bahan	bakar	minyak	jenis	premix	dan
                   gas,	kepada	para	penyalur	dan/atau	agennya	dipungut	PPh	Pasal	22	yang	bersifat	final.	Aturan
                   menteri	keuangan	terkait	hal	ini	sangat	banyak	mengalami	perubahan.

                   C.2.4  Rezim	Perubahan	Ketiga	UU	PPh
                   Enam	 tahun	 kemudian,	 UU	 PPh	 kembali	 direvisi	 melalui	 UU	 No.	 17	 Tahun	 2000	 tentang
                   Perubahan	 Ketiga	 UU	 PPh	 (UU	 No.	 17/2000).	 Amandemen	 ketiga	 ini	 tidak	 begitu	 banyak
                   menghasilkan	perubahan	dalam	penerapan	PPh	final.		UU	PPh	pada	masa	ini	tidak	mengubah
                   isi	 Pasal	 4	 ayat	 (2).	 Namun	 demikian,	 peraturan	 pelaksana	 	 dari	 Pasal	 4	 ayat	 (2)	 terus
                   diperbarui	sepanjang	UU	ini	berlaku.	Begitu	pula	dengan	jenis	PPh	final	lainnya	yang	telah
                   diatur	dalam	UU	No.	10/1994.

                   Penambahan	jenis	PPh	final	yang	terjadi	pada	masa	ini	di	antaranya	adalah	pengenaan	PPh
                   final	Pasal	21	atas	uang	tebusan	pensiun,	uang	THT	atau	JHT,	uang	pesangon	yang	diterima
                   pegawai	atau	mantan	pegawai.	Pengenaan	pajaknya	diatur	dalam	PP	No.	149	Tahun	2000
                   tentang	Pemotongan	Pajak	Penghasilan	Pasal	21	atas	Penghasilan	Berupa	Uang	Pesangon,
                   Uang	 Tebusan	 Pensiun,	 dan	 Tunjangan	 Hari	 Tua	 Atau	 Jaminan	 Hari	 Tua.	 Kemudian,
                   penambahan	objek	PPh	final	juga	terjadi	pada	Pasal	26	yang	dikenai	tarif	final	20%,	yaitu
                   penghasilan	berupa	premi	swap.


                   C.2.5  Rezim	Perubahan	Keempat	UU	PPh
                   Pemerintah	kembali	melakukan	amandemen	UU	PPh	melalui	UU	No.	36	Tahun	2008	tentang
                   Perubahan	Keempat	UU	PPh	(UU	No.	36/2008).	Dalam	UU	No.	36/2008,	setidaknya	terdapat
                   lima	perubahan	penting	dalam	penerapan	PPh	final	di	Indonesia.	Pertama,	perubahan	sangat
                   signifikan	terjadi	pada	isi	Pasal	4	ayat	(2),	yang	sekaligus	memperluas	jenis	penghasilan	yang
                   dapat	dikenakan	pajak	final.	Dalam	perubahan	terakhir	ini,	istilah	final	juga	dinyatakan	secara
                   jelas	dalam	bunyi	klausulnya,	yakni	sebagai	berikut:

                          “Penghasilan	di	bawah	ini	dapat	dikenai	pajak	bersifat	final:
                           a)  penghasilan	berupa	bunga	deposito	dan	tabungan	lainnya,	bunga	obligasi	dan
                              surat	utang	negara,	dan	bunga	simpanan	yang	dibayarkan	oleh	koperasi
                              kepada	anggota	koperasi	orang	pribadi;
                           b) penghasilan	berupa	hadiah	undian;




                   	                                                                                20
   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27