Page 35 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 35

aliran	 penghasilan	 inilah	 yang	 kemudian	 menjadi	 dasar	 dalam	 menentukan	 tarif,	 dasar
                   pengenaan	 pajak,	 hingga	 tata	 cara	 pemenuhan	 kewajiban	 pajaknya.	 Pada	 umumnya,	 atas
                   penghasilan	dari	pekerjaan	dan	kegiatan	usaha	mengikuti	prinsip	pemajakan	yang	dikenakan
                   atas	 active	 income.	 Sedangkan,	 untuk	 penghasilan	 dari	 modal	 dan	 penghasilan	 lain-lain
                   bercirikan	pemajakan	atas	passive	income.

                   Dalam	UU	No.	7/1983	dan		UU	No	7/1991,	perbedaan	perlakuan	atas	tiap	aliran	penghasilan
                   tersebut	tidak	mendorong	adanya	pemisahan	perlakuan	pajak	dari	rezim	yang	berlaku	umum
                   (ring-fencing).	Memang	benar	bahwa	PPh	Pasal	26	telah	sejak	awal	mengenakan	pemotongan
                   terhadap	penghasilan	(terutama	yang	berasal	dari	penghasilan	modal)	yang	diterima	SPLN
                   secara	final.	Namun,	tujuan	pengenaan	secara	final	tersebut	lebih	dimaksudkan	sebagai	cara
                   kemudahan	administrasi	karena	SPLN	tidak	memiliki	kewajiban	melaporkan	SPT	tahunan
                   kepada	 otoritas	 pajak.	 Sedangkan,	 pengenaan	 pajak	 atas	 penghasilan	 dari	 modal	 yang
                   diterima	 SPDN	 -seperti	 diatur	 dalam	 Pasal	 23-	 dipungut	 melalui	 mekanisme	 withholding
                   sebesar	tarif	tertentu	terhadap	penghasilan	bruto	dan	bisa	dikreditkan	dalam	perhitungan
                   pajak	terutang.

                   Baru	 pada	 UU	 No.	 10/1994	 dan	 setelahnya,	 berbagai	 penghasilan	 dari	 modal	 kemudian
                   diperlakukan	secara	terpisah,	seperti	persewaan	tanah,	penghasilan	dari	pengalihan	hak	atas
                   tanah	dan/atau	bangunan,	dan	sebagainya.	Selain	itu,	jenis	penghasilan	dari	hadiah	undian
                   yang	dikategorikan	sebagai	aliran	penghasilan	lain-lain	juga	turut	dikenakan	perlakuan	pajak
                   secara	terpisah	dan	tidak	boleh	digabungkan	kepada	penghasilan	lain	yang	mengikuti	tarif
                   umum. 103
                   Pertanyaannya	 adalah	 mengapa?	 Terdapat	 kemungkinan	 Indonesia	 juga	 menghadapi
                   kelemahan	 dari	 penerapan	 comprehensive	 income	 tax	 (global	 tax)	 seperti	 kesulitan	 wajib
                   pajak	dalam	melaksanakan	kewajiban	pajaknya	terutama	atas	perhitungan	penghasilan	dari
                   modal	maupun	sifat	global	tax	system	yang	mendiskriminasi	penghasilan	yang	ditabung,	dan
                   sebagainya.  104  Kian	 terbukanya	 perekonomian	 Indonesia	 pun	 turut	 memaksa	 adanya
                   penyesuaian	 terhadap	 tarif	 pajak	 atas	 investasi	 portfolio.	 Selain	 itu,	 tren	 penerapan	 dual
                   income	tax	di	banyak	negara	juga	dirasa	relevan. 105

                   Seiring	 berjalannya	 waktu,	 pengenaan	 pajak	 atas	 penghasilan	 dari	 modal	 yang	 bersifat
                   terpisah	dari	rezim	umum	semakin	kuat	dengan	adanya	pajak	dividen	yang	diterima	atau
                   diperoleh	SPDN	orang	pribadi	sebesar	10%	dari	penghasilan	bruto. 106 	Satu	hal	yang	pasti
                   dalam	rangka	memisahkan	perlakuan	pajak	atas	berbagai	penghasilan	dari	modal	tersebut,
                   pemerintah	memilih	menggunakan	skema	PPh	yang	bersifat	final.	Ini	berbeda	dengan	praktik
                   yang	diambil	oleh	berbagai	negara	lain.


                   D.1.3  Presumptive	Tax
                   Pada	saat	UU	No.	7/1983	disusun,	para	perumus	kebijakan	agaknya	telah	mengidentifikasi
                   tantangan	meningkatkan	kepatuhan	dari	sektor	yang	sulit	dipajaki.	Indikasinya	terlihat	pada
                   Pasal	14	yang	mengatur	mengenai	norma	penghitungan	yaitu	pedoman	yang	dipakai	untuk
                   menentukan	 peredaran	 atau	 penghasilan	 bruto	 dan	 untuk	 menentukan	 penghasilan	 neto
                   berdasarkan	jenis	usaha	perusahaan	atau	jenis	pekerjaan	bebas,	serta	Pasal	15	yang	mengatur

                   103 		 Lihat	PP	No.	42	Tahun	1994.
                   104 		 Lihat	Richard	M.	Bird	dan	Eric	M.	Zolt,	“Dual	Income	Taxation	and	Developing	Countries,”	Columbia
                       Journal	of	Tax	Law	Vol.1	(2010):	174-217;	atau	Peter	Birch	Sorensen,	“Dual	Income	Taxation:	Why	and
                       How?”	Cesifo	Working	Paper	No.	1551	(September	2005).
                   105 		 Peter	Birch	Sorensen,	“The	Nordic	Dual	Income	Tax:	Principles,	Practices,	and	Relevance	for	Canada,”
                       Canadian	Tax	Journal	Vol.	55	No.3	(2007):	557-602.
                   106 		 Pasal	17	ayat	(2c)	UU	No.	36/2008	2008	dan	diperjelas	melalui	PP	No.	19	Tahun	2009.


                   	                                                                                30
   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40