Page 37 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 37
Di Indonesia, sistem yang dipilih ialah pemajakan berbasis keluarga (family taxing unit). Hal
ini merupakan ruh dalam UU No. 7/1983 hingga UU No. 36/2008 dan terlihat pada Pasal 8
ayat (1). Sistem PPh orang pribadi yang berbasis keluarga juga disebutkan secara eksplisit
pada Penjelasan Pasal 8 UU No. 36/2008 yang berbunyi “Sistem pengenaan pajak berdasarkan
Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, …”
Walau menganut family taxing unit yang berimplikasi bagi penggabungan penghasilan atau
kerugian dari seluruh anggota keluarga dalam satu kesatuan kewajiban pajak yang dilakukan
oleh kepala keluarga, dalam kenyataannya ada situasi di mana penggabungan tersebut tidak
dilakukan. Situasi itu terjadi dalam hal penghasilan istri telah dipotong pajak oleh satu
pemberi kerja dan penghasilan tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. Dalam situasi tersebut, maka
atas pengenaan pajak terhadap penghasilan istri dianggap final dan tidak dapat dikreditkan
terhadap penghasilan kepala keluarga.
Pengenaan pajak bersifat final tersebut pada hakikatnya bukan suatu desain yang melekat
pada family taxing unit. Walau demikian, Burns dan Krever berpendapat bahwa penggunaan
skema withholding tax yang bersifat final merupakan solusi yang tidak rumit dalam rangka
mencegah terjadinya peningkatan beban pajak dalam sistem pemajakan keluarga. 111
Patut diduga bahwa skema bersifat final tersebut dipilih dalam rangka kemudahan. Dari sisi
wajib pajak, skema ini menguntungkan sebab jika penghasilan suami dan istri sama-sama dari
satu pemberi kerja, perhitungan pajaknya akan nihil. Penghasilan kena pajak hanya akan
dihitung dari satu sumber, sedangkan penghasilan istri yang telah dikenakan pajak yang
bersifat final tersebut hanya akan menjadi lampiran SPT. Sedangkan, jika tidak difinalkan akan
terdapat kemungkinan bahwa pajak terutang menjadi lebih besar (status kurang bayar).
Dengan kata lain, skema pengenaan pajak yang bersifat final atas penghasilan istri
memberikan jalan keluar atas permasalahan yang dapat timbul dari skema family taxing unit.
D.1.5 Perluasan Pajak yang Bersifat Final
Sepuluh tahun setelah implementasi UU PPh, upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak
belum sepenuhnya tercapai. Turunnya kontribusi penerimaan minyak dan gas, terbatasnya
basis pajak, serta indikasi penghindaran pajak merupakan urgensi yang kemudian disikapi
melalui berbagai terobosan pada UU No. 10/1994. 112 Konsep PPh yang secara filosofis
menitikberatkan kepada keadilan dan prinsip ability to pay justru kurang ideal dalam
meningkatkan partisipasi pembayaran pajak. Situasi inilah yang mendorong adanya
pendekatan pragmatis dalam UU No. 10/1994.
Melalui UU No. 10/1994, pemungutan pajak melalui penyetoran pihak lain
(pemotongan/pemungutan) diperluas, termasuk yang bersifat final. Pilihan tersebut rasional
mengingat bahwa skema tersebut dirancang untuk menghasilkan penerimaan pajak secara
otomatis dengan jumlah yang besar dan tidak memerlukan upaya yang besar. 113 Oleh
karenanya dianggap sangat efektif untuk memungut pajak penghasilan. Selain itu, beban
pemungutan pajak ‘dibagi’ kepada pihak ketiga sehingga otoritas pajak bisa lebih fokus ke
111 Lee Burs dan Richard Krever, “Individual Income Tax,” dalam Victor Thuronyi ed. Tax Law Design and
Drafting Vol.2 (1988).
112 Lihat Fuad Bawazier dan Ali M. Kadir, “Kebijakan dalam "Tax Reform" 1994 dan "Tax Reform" 1997,”
dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, ed. Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), 194-201.
113 Jorge Martinez-Vazquez, Gordon B. Harwood, dan Ernest R. Larkins, “Withholding Position and Income
Tax Compliance: Some Experimental Evidence,” Public Finance Review Vol. 2 (1992): 152-174.
32