Page 38 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 38

area-area	yang	lebih	berisiko.	Tidak	mengherankan	jika	withholding	tax	diimplementasikan
                   di	banyak	negara. 114
                   Perluasan	skema	withholding	tax	yang	bersifat	final,	dapat	ditelusuri	pada	perluasan	cakupan
                   objek	Pasal	26	dan	Pasal	4	ayat	(2).	Tidak	hanya	itu,	skema	tersebut	turut	diterapkan	bahkan
                   atas	 aliran	 penghasilan	 dari	 kegiatan	 usaha,	 yaitu	 Pasal	 22	 atas	 penjualan	 hasil	 produksi
                   tertentu	di	dalam	negeri,	serta	aliran	penghasilan	dari	pekerjaan,	yaitu	Pasal	21	atas	uang
                   tebusan	pensiun	dan	pesangon,	serta	honorarium	yang	dibebankan	pada	APBN/APBD.

                   Lebih	lanjut,	menurut	Shome,	Aggrawal,	dan	Singh,	relatif	mudahnya	optimalisasi	penerimaan
                   menciptakan	insentif	bagi	banyak	negara	untuk	terus	mempertahankan,	memperluas	objek,
                   mengubah	skema,	serta	meningkatkan	tarif	withholding	tersebut. 115 	Pendapat	ini	mungkin
                   juga	 dapat	 diletakkan	 dalam	 konteks	 Indonesia.	 Skema	 withholding	 tax	 yang	 awalnya
                   ditujukan	 untuk	 mengumpulkan	 data	 untuk	 meningkatkan	 kepatuhan	 justru	 semakin
                   diperluas.	Demikian	pula	halnya	dengan	skema	withholding	tax	yang	bersifat	final.
                   Pengenaan	PPh	yang	bersifat	final	di	luar	skema	withholding	tax	juga	mulai	diperluas	dalam
                   UU	No.	10/1994.	Sebagai	contoh,	Pasal	19	mengenai	revaluasi	aktiva	tetap	dengan	mekanisme
                   self-assessment.	Satu	hal	yang	pasti,	penanda	paling	jelas	dari	perluasan	penggunaan	PPh	final
                   dapat	ditemui	pada	teks	Pasal	20	ayat	(3)	UU	No.	10/1994:
                          “Dengan	 pertimbangan	 kemudahan,	 kesederhanaan,	 kepastian,	 pengenaan	 pajak
                          yang	 tepat	 waktu,	 dan	 pertimbangan	 lainnya,	 maka	 dapat	 diatur	 pelunasan	 pajak
                          dalam	tahun	berjalan	yang	bersifat	final	atas	jenis-jenis	penghasilan	tertentu	seperti
                          dimaksud	dalam	Pasal	4	ayat	(2),	Pasal	21,	Pasal	22,	dan	Pasal	23.	Pajak	Penghasilan
                          yang	bersifat	final	tersebut	tidak	dapat	dikreditkan	dengan	Pajak	Penghasilan	yang
                          terutang.”

                   UU	 No.	 10/1994	 ini	 memberikan	 dua	 dampak	 besar.	 Pertama,	 berhasil	 meningkatkan
                   kontribusi	penerimaan	PPh	bagi	total	penerimaan	perpajakan	serta	meningkatnya	tax	ratio	di
                   Indonesia	pasca	1994	(Lihat	Gambar	6	dan	Gambar	7).	Kedua,	perluasan	skema	withholding
                   tax	termasuk	yang	bersifat	final	yang	secara	implisit	tidak	bermaksud	permanen	justru	terus
                   ‘terbawa’	dalam	perubahan	UU	PPh	di	masa	selanjutnya,	Akibatnya,	filosofi	dan	struktur	UU
                   PPh	di	Indonesia	justru	kian	membingungkan	dan	tidak	mudah	dipahami.	Hal	yang	sama	juga
                   turut	menimbulkan	kerancuan	mengenai	konsep	dan	relevansi	PPh	final	hingga	saat	ini.















                   114 		 Michael	Carnahan,	“Taxation	Challenges	in	Developing	Countries,”	Asia	&	Pacific	Policy	Studies	Vol.	2	No.
                       1	(2015):	176.
                   115 		 Lihat	 Parthasarathi	 Shome,	 Pawan	 K.	 Aggrawal,	 dan	 Kanwarjit	 Singh,	 “Tax	 Evasion	 and	 Tax
                       Administration:	A	Focus	on	Tax	Deduction	at	Source,”	dalam	Tax	Systems	and	Tax	Reforms	in	South	and
                       East	Asia,	ed.	Luigi	Bernardi,	Angela	Fraschini,	dan	Parthasarathi	Shome	(Routledge,	2007),	99-111.


                   	                                                                                33
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43