Page 36 - Working Paper (Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia)
P. 36
tentang norma penghitungan khusus guna menghitung penghasilan neto dari wajib pajak
tertentu. 107
Walau kedua pasal tersebut sama-sama berupaya meningkatkan kepatuhan melalui prinsip
kemudahan, pendekatannya berbeda. Pasal 14 sering disebut sebagai bentuk simplified-
standard regime, yaitu penyederhanaan dengan pedoman tertentu. 108 Di sisi lain, Pasal 15 bisa
dikategorikan sebagai bentuk presumptive tax karena menggunakan suatu asumsi dalam
menghitung apa yang dianggap sebagai penghasilan neto. 109
Walau sudah ada sejak UU No. 7/1983, penerapan Pasal 15 baru efektif pada rezim UU No.
10/1994 dengan dirilisnya beberapa KMK pada kurun waktu 1994-1996 yang mengatur
norma penghitungan khusus bagi perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri,
perusahaan pelayaran dalam negeri, wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia, serta kegiatan build operate and transfer (BOT). Sifat
pengenaan pajak bagi perusahaan-perusahaan tersebut bersifat final.
Kehadiran kebijakan untuk memajaki hard to tax sectors melalui presumptive tax semakin kuat
dalam rezim UU No. 36/2008 yang mengubah ‘naskah’ Pasal 4 ayat (2) dengan adanya
pengenaan pajak yang bersifat final, salah satunya pada huruf (e) yaitu atas penghasilan
tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan PP. Pasal ini kemudian diturunkan
dalam PP No. 46/2013 yang mengatur pengenaan PPh final sebesar 1% atas peredaran bruto
terhadap wajib pajak yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar dalam 1 tahun
pajak. PP ini kemudian dicabut dan digantikan oleh PP No. 23/2018 yang menurunkan
tarifnya hingga sebesar 0,5%. Selain itu, skema presumptive tax dikenakan pula atas usaha
jasa konstruksi sejak rezim UU No. 10/1994 dan berlanjut hingga saat ini.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan presumptive tax di Indonesia
diterapkan dengan menggunakan skema PPh final.
D.1.4 Menjamin Sistem Pemajakan Berbasis Keluarga
Ditinjau dari unit yang hendak dikenakan pajak, sistem PPh orang pribadi dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pemajakan berbasis individu (individual taxing unit)
maupun pemajakan berbasis keluarga (family taxing unit).
Dalam family taxing unit, setiap orang pribadi dianggap sebagai bagian dari keluarganya dan
keluargalah yang wajib melaksanakan kewajiban PPh-nya. 110 Tujuan utama dari penerapan
model keluarga adalah untuk meningkatkan keadilan horizontal dan keadilan vertikal dalam
pengenaan PPh. Melalui model ini, meskipun komposisi penghasilan yang diterima oleh suatu
keluarga berbeda dengan keluarga lainnya, tetapi sepanjang total penghasilan yang diterima
antarkeluarga tersebut sama, PPh yang harus dibayarkan oleh kedua keluarga tersebut tetap
pada level yang sama.
107 Pasal 14 kemudian diubah pada UU No. 10/1994 yang mengatur mengenai Norma Penghitungan
Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Pada UU No. 17/2000, Pasal 14
kemudian hanya mengatur tentang NPPN dan disempurnakan pada UU No. 36/2008. Sedangkan, Pasal
15 kemudian disempurnakan dalam UU No. 10/1994 dan masih berlaku hingga saat ini.
108 Syarif Ibrahim, “Pengenaan PPh Final untuk Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu: Sebuah
Konsep Kesederhanaan Pengenaan PPh untuk Meningkatkan Voluntary Tax Compliance,” Kajian PKPN,
BKF.
109 Lihat Victor Thuronyi, “Presumptive Taxation,” dalam Tax Law Design and Drafting, Victor Thuronyi, ed.
(IMF, 1996).
110 Reuven S. Avi-Yonah, Nicola Sartori, dan Omri Marian, Global Perspectives on Income Taxation Law, (New
York: Oxford University Press, 2011), 69
31