Page 33 - Working Paper (Prospek Pajak Warisan di Indonesia)
P. 33

(iii)   orang	 yang	 mewariskan	 dan	 mewarisi	 memiliki	 hubungan	 keturunan	 atau
                          kekerabatan,	 baik	 pertalian	 garis	 lurus	 ke	 atas	 seperti	 ayah	 atau	 kakek	 dan
                          pertalian	lurus	ke	bawah	seperti	anak,	cucu	dan	paman.


                   Lebih	lanjut,	dalam	perspektif	adat,	hukum	waris	merupakan	aturan-aturan	hukum	yang
                   mengatur	penerusan	dan	peralihan	dari	abad	ke	abad	baik	harta	kekayaan	yang	berwujud
                   dan	tidak	berwujud	dari	generasi	pada	generasi	berikut. 	Secara	umum,	dari	berbagai
                                                                         85
                   adat	yang	mengatur	persoalan	warisan,	terdapat	tiga	sistem	pewarisan.
                                                                                      86
                   (i)    Sistem	Individual

                          Dalam	 sistem	 ini,	 harta	 peninggalan	 terbagi-bagi	 pemilikannya	 kepada	 para
                          penerima	warisan,	sebagaimana	berlaku	menurut	KUH	Perdata	dan	Hukum	Islam.
                          Pada	umumnya,	sistem	ini	cenderung	berlaku	di	kalangan	masyarakat	keluarga
                          mandiri	yang	tidak	terikat	kuat	dengan	hubungan	kekerabatan.	Terutama	pada
                          belakangan	 ini	 dimana	 kalangan	 masyarakat	 adat	 menjadi	 modern,	 sistem	 ini
                          menjadi	tidak	terlalu	banyak	berlaku.	Dalam	hal	ini,	pewaris	bebas	menentukan
                          kehendaknya	 atas	 harta	 warisan	 yang	 menjadi	 bagiannya,	 ia	 bebas	 untuk
                          mentransaksikan	hak	warisannya	itu	kepada	orang	lain.

                   (ii)   Sistem	Kolektif


                          Ciri	 sistem	 kewarisan	 kolektif	 ialah	 bahwa	 harta	 peninggalan	 itu
                          diwarisi/dikuasai	oleh	sekelompok	waris	dalam	keadaan	tidak	terbagi-	bagi,	yang
                          seolah-olah	merupakan	suatu	badan	hukum	keluarga	kerabat.	Harta	peninggalan
                          ini	biasanya	berbentuk	bidang	tanah	kebun,	sawah,	atau	rumah	bersama.


                   (iii)   Sistem	Mayorat

                          Dalam	 sistem	 ini,	 harta	 peninggalan	 orang	 tua	 atau	 harta	 peninggalan	 leluhur
                          kerabat	 tetap	 utuh	 tidak	 dibagi-bagi	 kepada	 para	 waris.	 Meskipun	 demikian,
                          warisan	 ini	 kemudian	 dikuasai	 oleh	 anak	 tertua	 laki-laki	 (mayorat	 laki-laki),
                          seperti	yang	berlaku	di	lingkungan	masyarakat	patrilineal	Lampung	dan	Bali.	Ada
                          juga	 daerah	 yang	 menerapkan	 harta	 warisan	 tetap	 dikuasai	 anak	 tertua
                          perempuan	 (mayorat	 wanita),	 seperti	 yang	 berlaku	 di	 lingkungan	 masyarakat
                          matrilineal	semendo	di	wilayah	Sumatera	Selatan	dan	Lampung.	Bagi	masyarakat
                          adat	 Lampung	 Pesisir,	 penduduknya	 menggunakan	 sistem	 kewarisan	 mayorat
                          laki-laki.	 Sistem	 kewarisan	 mayorat	 hampir	 sama	 dengan	 sistem	 kewarisan
                          kolektif,	hanya	saja	penerusan	dan	pengalihan	hak	penguasa	atas	harta	yang	tidak
                          terbagi-bagi	itu	dilimpahkan	kepada	anak	tertua	yang	bertugas	sebagai	pemimpin
                          rumah	 tangga	 atau	 kepala	 keluarga	 menggantikan	 kedudukan	 ayah	 atau	 ibu
                          sebagai	kepala	keluarga.

                   Sistem	pewarisan	harta	yang	telah	diatur	di	Indonesia	ini	dapat	mencerminkan	bahwa
                   masyarakat	Indonesia	telah	memiliki	perspektif,	nilai-nilai,	dan	pemahaman	mengenai
                   bagaimana	 pemberian	 dan	 perolehan	 warisan	 diatur.	 Mencermati	 hal	 ini,	 ketika

                   85 		  Ter	 Haar	 Bzn,	 Asas-Asas	 dan	 Susunan	 Hukum	 Adat	 (Beginselen	 En	 Stelsel	 van	 Het	 Adatrecht).
                         Diterjemahkan	oleh	Soebakti	Poesponoto	(Jakarta:	Pradnya	Paramitha,	1981),	159.
                   86 		  Soerojo	Wignjodipoero,	Pengantar	dan	Asas-Asas	Hukum	Adat,	(Jakarta:	PT.	Temprin,1990),	161.


                   	                                                                                31
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38